Lemang dan Tapai, Sepasang Makanan Nikmat dalam Tradisi Minangkbau, Suku Dayak, dan Melayu Talawi

Makanan yang akan dibahas kali ini merupakan sepasang makanan yang kalau tidak disajikan berpasangan dianggap tidak afdol oleh masyarakat Minangkabau. Lemang dan Tapai. Kedua makanan ini tidak asli berasal dari budaya Indonesia, melainkan adanya pengaruh budaya lain. Lemang atau nasi bambu diduga telah diketahui oleh nenek moyang Bangsa Indonesia yaitu Bangsa Proto Melayu atau Deutero Melayu. Bangsa Proto Melayu merupakan bangsa yang berasal dari Yunnan, China. Provinsi Yunnan diketahui memiliki spesies dan hutan bambu terbanyak di dunia. Terdapat cerita yang menceritakan mengenai masyarakat Yunnan yang pergi berburu atau bertani. Mereka mengatasi kesulitan untuk membuat makanan dengan memakai ruas bambu sebagai wadah memasak. Mereka memasukkan nasi dan air ke dalam ruas bambu dan kemudian bambu tersebut dibakar dekat bara api hingga matang.

Tapai berasal dari kata "tapai" dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia atau "tapaJ" dari bahasa Proto Austronesia yang berarti fermentasi. Proses fermentasi diketahuhi berasal dari China yang pada waktu itu digunakan untuk mengawetkan serealia dan polong-polongan. Di China sendiri, dilaporkan ditemukan makanan serupa tapai yang disebut dengan lao chao. Ada 2 jenis tapai yaitu, tapai singkong atau bisa disebut peuyeum dan tapai ketan atau bisa disebut pulut. Tapai yang disajikan bersama dengan lemak merupakan tapai dari ketan hitam yang difermentasi oleh ragi.

Suku Minangkabau menyebut lemang sebagai lamang. Ada sebuah tradisi di Minangkabau yang bernama malamang atau membuat lemang di berbagai daerah seperti Solok, Payakumbuh, Padang, Pariaman, dan lainnya. Lemang merupakan makanan yang wajib hadir pada acara-acara tertentu seperti lebaran, peringatan Maulud Nabi, perayaan hari kematian, pesta pernikahan atau disebut baralek, dan bulan malamang yaitu waktu menjelang bulan Ramadhan. Tradisi malamang hadir dipercaya karena adanya kaitan dengan seorang ulama bernama Syekh Burhanuddin. Saat dahulu, Syekh Burhanuddin bersilahturahmi dan menyiarkan agama Islam di daerah Ulakan, Pariaman. Beliau sering disuguhkan dengan makanan yang dianggap haram seperti gulai babi, rendang tikus, dan ular goreng. Kemudian Syekh Burhanuddin memperkenalkan cara pembuatan lamang dengan agar masyarakat tidak menggunakan alat-alat masak yang telah digunakan sebelumnya untuk memasak makanan-makanan haram tersebut. Pada waktu itu, Syekh Burhanuddin memasak nasi dengan ruas babu talang yang dilapisi dengan daun pisang. Nasi kemudian dimasak dengan kayu bakar. Proses memasak lemang ini ditiru oleh masyarakat sekitar sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi. Masyarakat Minangkabau merasa bahwa lamang tidak lengkap bila tidak dimakan bersama tapai dari segi cita rasanya sehingga sering diibaratkan sebagai laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi. Lamang dan tapai sering hadir dalam berbagai kegiatan adat di Minangkabau diantaranya adalah mengunjungi mertua dan manjapuik marapulaiManjapuik marapulai merupakan prosesi menjemput marapulai (mempelai pria) untuk melangsungkan akad nikah di masjid atau rumah anak daro (gadis/ pengantin wanita) dan untuk disandingkan di pelaminan di rumah pengantin wanita setelah menikah di masjid. Setelah menikah, pihak laki-laki dan perempuan pulang kerumah masing-masing meskipun telah sah menjadi suami dan istri sehingga sang suami harus dijemput lagi untuk disandingkan kembali dengan istrinya di pelaminan.

Suku Dayak memakan lemang bersama dengan minuman anggur beras. Air hasil fermentasi ini disebut sebagai tuak. Tuak di beberapa daerah disebut sebagai tapai. Lemang dan tuak harus dihidangkan pada setiap acara masyarakat Dayak, terutama pesta Gawai. Pesta Gawai merupakan tradisi pesta yang dilakukan untuk merayakan keberhasilan panen atau saat tahun baru. Lemang berbentuk bulat sering dianggap melambangkan cara hidup orang Dayak yang berkumpul dan bersatu dengan alam. Beras ketan yang digunakan untuk membuat lemang adalah hasil panen padi yang baru saja dilakukan sehingga lemang dibuat sebagai simbol rasa syukur bahwa hasil panen pada tahun itu sudah dapat dinikmati. Tradisi minum tuak melambangkan semangat kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan. Tuan rumah akan dianggap pelit apabila tidak ada orang yang mabuk karena minum tuak pada pesta Gawai Burong. Gawai Burong merupakan jenis pesta Gawai untuk menghormati Dewa Singalang Burong yang dianggap sebagai dewa perang. Pada pesta ini, wanita-wanita akan memaksa laki-laki untuk minum sebanyak-banyaknya hingga terjatuh dan tidak sadarkan diri.

Suku Melayu Talawi rutin melaksanakan Pesta Tapai setiap tahun secara turun temurun. Pesta ini dilakukan setiap tujuh belas hari sebelum menyambut bulan suci Ramadhan sebagai bentuk kegembiraan dan rasa syukur kepada sang pemberi keberkahan. Masyarakat merayakan pesta ini dengan menjual makanan berupa tapai, lemang dan kue khas melayu lainnya. Nenek moyang masyarakat di Kabupaten Batubara saat ini berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang dikenal sebagai suku Minang dan banyak penduduk di Kabupaten Batu Bara mengaku berasal dari Pagaruyung di tanah Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa budaya masyarakat Melayu Talawi membuat lemang dan tapai menjelang bulan Ramadhan diadaptasi dari kebiasaan masyarakat suku Minangkabau.

Comments