Ingkung ayam, makanan khas Jawa satu ini merupakan makanan yang hadir dalam berbagai acara-acara tradisional dalam adat Jawa. Orang-orang Jawa sering menggunakan simbol sebagai cara mereka menyampaikan ajaran-ajaran pada generasi penerus. Ingkung ayam ini juga merupakan salah satu simbol yang juga digunakan oleh orang Jawa. Selain itu, ingkung ayam juga digunakan sebagai uborampe atau sesaji dalam berbagai acara adat.
Ingkung ayam sendiri dipercaya telah ada sejak sebelum masuknya ajaran-ajaran agama ke Indonesia. Ingkung
ayam muncul karena adanya kesadaran orang-orang Jawa pada zaman dahulu mengenai hubungan antar
manusia, hubungan manusia dan alam, serta hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kesadaran ini kemudian menjadi prinsip hidup dalam budaya Jawa yang disebut dengan
kejawen. Seiring berjalannya waktu, kejawen kemudian mulai mengadopsi ajaran-ajaran agama pendatang seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Ayam, pada zaman dahulu, merupakan binatang liar yang tidak dipelihara oleh manusia seperti saat ini. Oleh karena itu, ingkung ayam hanya disajikan pada acara-acara besar seperti syukuran karena untuk mendapatkan ayam dibutuhkan usaha.
Penggunaan ayam jago melambangkan manusia beserta sifat-sifatnya. Ayam dikenal memiliki
karakteristik-karakteristik yang baik seperti rajin karena bangun pada pagi hari, lalu berkokok untuk
membangunkan manusia. Selain itu juga, ayam merupakan hewan yang selektif akan makanan yang
dimakan. Keselektifan ini juga diharapkan dimiliki oleh manusia, yaitu dalam
hal memilah-milah hal yang baik dan buruk. Ayam yang digunakan
merupakan ayam jago. Ayam jago digunakan karena dianggap memiliki sifat gagah
dan sombong juga merupakan ayam petarung dan ayam yang paling kuat sehingga
melambangkan manusia yang paling hebat. Selain itu, penggunaan ayam jago dapat
diartikan dari kata “jago” yang bermakna yang terhebat atau yang terunggul.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dan bisa disebut juga
dengan “jago”.
Setiap tahap pembuatan ingkung ayam juga dapat diartikan filosofinya. Pertama-tama, ayam
akan dibersihkan bulu dan jeroannya. Pembersihan bulu dan jeroan dari ayam
menyimbolkan manusia harus membersihkan diri dari luar dan dalam yang berarti manusia harus meninggalkan sifat-sifat buruk terdahulu. Ayam yang
sudah bersih dianggap seperti bayi yang baru lahir dan suci. Sesudah
dibersihkan, jeroan ayam kemudian akan dimasukkan kembali. Selain itu, ayam juga dimasak secara utuh
yang dapat diartikan bahwa tidak boleh ada satupun yang kurang dari manusia. Ayam dimasak dengan mengikat ayam pada bagian kepala, sayap, dan
kakinya. Hal ini dapat diartikan sifat buruk manusia harus diikat agar tidak
kembali melakukan hal buruk. Selain itu, ayam diikat agar berwujud seperti
orang berdoa. Ayam yang diikat menandakan manusia yang sudah dibersihkan dan
sudah kembali suci harus duduk diam dan berdoa untuk mohon petunjuk dari Tuhan.
Ayam yang sudah diikat akan terlihat seperti manusia yang sedang sholat karena
bagian kepalanya menunduk. Posisi ayam ini diartikan sebagai manusia harus
berserah diri pada Tuhan. Ingkung ayam juga dapat diartikan sebagai simbol
untuk memohon kepada Gusti Allah supaya dijauhkan dari dosa dan kesalahan,
serta menunjukkan sifat pasrah, berbakti dan tunduk kepada Gusti Allah. Ingkung berasal dari dua kata yaitu ing dan kung. Kata ing berasal dari kata ingsun yang berarti ‘saya’ atau ‘aku’. Ingsun dalam kosa kata bahasa Jawa memiliki arti sebagai kata ganti orang pertama namun, ingsun tidak boleh digunakan pada sesama manusia. Ingsun hanya boleh diucapkan oleh Tuhan atau dewa kepada manusia. Kata kung berasal dari kata jungkung atau manekung. Kata jungkung atau manekung berarti bersujud atau berdzikir. Sehingga ingkung ayam dapat diartikan sebagai manusia harus duduk diam dan mendengarkan petunjuk dari Tuhan mengenai apa yang harus dilakukan dan tindakan yang harus diambil.
Ingkung ayam biasanya disajikan sebagai lauk pada tumpeng dalam acara-acara yang bersifat syukuran. Tata cara upacara syukuran ini sama seperti pada postingan sebelumnya mengenai tumpeng. Sama seperti tumpeng, penyajian ingkung ayam pun tidak sembarangan. Kepala ayam akan diberikan kepada orang yang didoakan bersama dengan puncak dari tumpeng. Hal ini dilakukan karena dipercayai bahwa berkat dari Tuhan akan turun dari atas dan puncak serta kepala dari ingkung ayam merupakan bagian yang terkena berkat paling banyak. Oleh karena itu, orang yang menerima puncak tumpeng serta kepala ayam diharapkan menerima berkat paling banyak. Bagian tubuh ayam lain kemudian akan disuwir dan dibagi-bagi secara merata kepada seluruh orang yang hadir dalam acara. Selain hadir pada acara-acara yang bersifat syukuran, ingkung ayam juga dapat ditemui pada berbagai acara adat lain seperti upacara peringatan Satu Suro, pernikahan adat Jawa, dan mitoni atau tingkeban.
Comments
Post a Comment