Postingan kali ini akan membahas salah satu makanan khas dari suku Kaili, kabupaten Donggala, yaitu kaledo. Kaledo merupakan sup bening tulang kaki sapi serta sumsumnya. Asal mula terciptanya kaledo dibahas dalam cerita turun menurun oleh suku Kaili. Konon katanya, zaman dahulu, ada seorang murah hati yang membagi-bagikan daging sapi. Kala itu, masyarakat Jawa datang pertama kali dan mengambil potongan-potongan daging tersebut untuk membuat bakso dan sate. Setelah itu, datanglah orang-orang dari Makassar dan mengambil jeroan dari sapi untuk membuat Coto Makassar. Hingga akhirnya, datanglah suku Kaili dan mengambil sisa-sisa dari potongan sapi, yaitu tulangnya. Setelah dibawa pulang, tulang kaki sapi dimasak oleh para isteri. Setelah itu, muncullah pertanyaan dari sang isteri pada suaminya untuk meminta pendapat apakah daging di tulang tersebut masih keras. Pertanyaan itu ditanyakan dalam bahasa Kaili yaitu "naka'a?" dan dijawab dengan "ledo" yang berarti "keras?" dan dijawab "tidak". Kedua kata ini kemudian menjadi asal usul nama kaledo. "Ka" dan "ledo" berarti "keras" dan "tidak" sehingga menjadi "tidak keras".
Kaledo sering disajikan pada saat acara-acara besar di Sulawesi Tengah seperti Idul Fitri. Penyajian kaledo biasanya ditemani dengan burasa atau nasi santan yang dibungkus dengan daun pisang. Cara memakan kaledo juga menarik. Kuah kaledo dituangkan ke dalam kaki sapi kemudian sumsumnya disedot menggunakan sedotan. Kaledo biasanya juga dapat disajikan bersama singkong atau ubi rebus dan dimakan tanpa alat makan lain. Sebelum abad ke-16, Kaledo dibuat dari kaki binatang seperti kambing atau babi hutan. Namun, setelah agama Islam masuk ke Indonesia, kaledo dibuat menggunakan kaki sapi. Dulu, makanan ini disajikan oleh raja di Palu untuk menjamu tamu kehormatan. Namun seiring berjalannya waktu, kaledo akhirnya dijadikan makanan dalam berbagai perayaan seperti pernikahan, pameran, dan hindangan sehari-hari.
Comments
Post a Comment