Papeda, makanan khas dari Indonesia bagian Timur, terbuat dari sagu yang memiliki konsistensi seperti lem, terasa hambar, namun memiliki tetap bernutrisi. Papeda diwariskan secara turun menurun dari nenek moyang. Papeda adalah singkatan dari Papua Penuh Damai. Ketika terjadi perkelahian, perdamaian harus terjadi. Proses perdamaian biasanya dilakukan dengan makan bersama. Papeda disajikan dalam wadah besar sehingga semua orang yang hadir akan berkumpul dan mengelilingi mangkuk untuk menikmati papeda bersama-sama. Peristiwa ini merupakan nilai budaya yang diwarisi dari generasi ke generasi oleh nenek moyang orang Papua. Sagu disamakan dengan alat, sagu menjadi alat bernilai tinggi. Nilai ini dirasakan oleh masyarakat Sentani, terutama dalam pengolahan sagu. Pengolahan sagu ini menciptakan suasana yang harmonis. Dalam proses ini, apra laki-laki akan menebang pohon sagu dan para wanita akan memeras empulur batang sagu yang disebut ela atau mele untuk menghasilkan tepung sagu yang akan dikonsumsi oleh banyak orang. Melalui proses ini, orang secara tidak langsung diajarkan untuk membangun harmoni, meningkatkan kerja sama, dan membangun komunitas atau aliansi yang harmonis.
Masyarakat Sentani memiliki ungkapan yaitu wari taise nekande dan wari pi enye. Wari taise nekande berarti bila tidak makan papeda seperti tidak adanya harapan hidup. Sedangkan wari pi enye berarti berhubungan dengan kerohanian dan mendalam yaitu manusia hanya hidup melalui sagu. Masyarakat Sentani menyebutkan Tuhan sebagai pemberi hidup, dimana masyarakat memelihara sagu di dalam hidupnya maka mereka memelihara Tuhan dalam kehidupan mereka. Semua masyarakat Papua menghormati sagu lebih dari sekadar makanan biasa. Di Raja Ampat orang memperlakukan sagu seperti hal yang berharga bagi mereka. Mereka mengadakan upacara khusus setelah sesi panen sebagai ucapan syukur dan penghormatan kepada Tuhan karena memberi mereka banyak persediaan makanan untuk setiap keluarga.
Papeda sering disajikan di beberapa acara seperti pada upacara tradisional Papua, yang disebut Watani Kame yang merupakan upacara peringatan siklus kematian seseorang. Penduduk asli Papua percaya bahwa kerabat mereka yang mati telah mengakhiri siklus untuk bertemu dengan leluhur mereka. Papeda disajikan untuk semua kerabat yang membantu upacara. Papeda juga hadir dalam pesta pernikahan sebagai persembahan dari keluarga wanita. Papeda akan dikonsumsi oleh kedua mempelai sebagai simbol bahwa pernikahan mereka resmi. Mereka percaya bahwa sagu dalam papeda memiliki peran sebagai mediator antara bumi dan rakyatnya yang dapat memberikan kesuburan bagi seseorang.
Papeda tidak dimakan sebagai hidangan tunggal tetapi disajikan dengan makanan lain. Ada dua jenis makanan, yaitu sup ikan putih dan sup ikan kuning. Sup putih adalah salah satu makanan khas Maluku yang jarang ditemukan di provinsi lain. Papeda yang siap dicampur dengan saus putih terbuat dari campuran ikan kakap, ikan tenggiri, tuna, ataupun mubara. Cara menikmati papeda adalah dengan menggulung papeda pada sumpit dan mencelupkannya ke dalam kuah ikan. Kuah ikan memiliki rasa asam dan pedas. Beberapa etnis lebih suka makan papeda menggunakan tongkat kayu, tetapi beberapa yang lain lebih suka menyeruputnya langsung dari piring. Masyarakat Papua memiliki cara mereka sendiri untuk makan papeda. Di desa Abor, papeda dimakan menggunakan mangkuk berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat yang disebut periuk.
Comments
Post a Comment